Our Islam will be back....!! Khilafah will rise again...!!

MENDIRIKAN KHILAFAH MIMPI ??

by : Farid Wadjdi

Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Jakarta 


Upaya menegakkan kembali Khilafah, belakangan kembali muncul menjadi wacana baik dikalangan umat Islam maupun negara-negara Barat. Bahkan pada Desember 2004, National Intelelligence Council’s (NIC) merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the Global Future”. Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020 diantaranya adalah A New Chaliphate: Berdirinya kembali Khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global Barat. Isu Khilafah pun dikaitkan dengan terorisme, sebagaimana yang terungkap dalam pidato Bush Kamis (6/10/2005) di depan undangan National Endowment of Democracy dan di hadapan The Ronald Reagan Presidential Library dalam kesempatan lain. Untuk pertama kalinya, Bush menyebutkan tujuan dari ideologi Islam ini, yakni mendirikan pemerintahan Islam dunia yang disebut oleh Bush dengan istilah ‘Imperium Islam’ dari Spanyol sampai Indonesia, yang akan menyatukan umat Islam di seluruh dunia dan menggantikan pemerintahan moderat di negeri-negeri Islam. Pidato Bush ini mengarah pada institusi politik Islam—Khilafah Islam—yang memang bersifat global dan menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukumnya. Disisi lain, ada juga kalangan umat Islam yang menganggap perjuangan menegakkan Khilafah adalah mimpin yang tidak bisa diwujudkan. Paling tidak ada beberapa alasan yang sering diungkap tentang kemustahilan berdirinya kembali Khilafah. Argumentasi yang sering dilontarkan adalah realita umat kini yang beragam (pluralitas) dan hidup dibawah naungan nation-state. Ditambah lagi kekhawatirn bahwa AS dan negara Barat lainnya tidak akan membiarkan Khilafah tegak kembali. Tulisan ini akan mengkritisi beberapa argumentasi diatas. 


Secara historis meskipun didalamnya terdapat berbagai warna kulit, etnis, ras, dan geografis yang berbeda , Khilafah Islam mampu mempersatukan semua itu. Negara Islam yang perdana , Daulah Islam di Madinah, juga bukanlah komunitas yang homogen. Disana tercatat terdapat berbagai kelompok etnis atau qabilah seperti Auz dan Khazraj. Terdapat pula orang Yahudi dan musyrik , disamping Islam. 

Apalagi setelah Khilafah Islam meluas melampai jazirah Arab. Kekuasaan Daulah Khilafah Islam menyebar menyatukan benua besar dunia mulai dari Asia, Afrika, hingga Eropa. Khilafah Islam juga mengingintegrasikan kawasan beragama Kristen ( Byzentium, Ethiopia, Kipti Mesir, Syam dan Bushra); Majusi-Zoroaster (Persia, Bahrain, Oman, Yamamah,Yaman), confusius (China) dan Hindu (India) . Termasuk menyatukan berbagai ras, suka, dan warna kulit : semetik (Arab, Syriani, Kaldean), Hametik (Mesir, Nubia, Berber dan Sudan); Aria (Parsia, Yunani, Spanyol dan India), Tourani (Turki dan Tartar).

Jadi secara konsepsional tidak ada kendala bagi sistem Khilafah untuk menyatukan berbedaan perbedaan. Hal ini disebabkan karakter utama dari ajaran Islam , yakni untuk seluruh manusia (kaaffatan lin-nas) dan memberikan kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Karena ditujukan untuk seluruh manusia , syariah Islam akan mengatur siapapun manusianya. Dan sekaligus siapapun manusia yang menerapkan syariah Islam di dalamnya akan mendapat kebaikan.
Sunni dan Syiah secara historis juga pernah hidup berdampingan di bawah naungan Khilafah. Memang ada persoal internal , ketika masing-masing kelompok lebih mementingkan diri sendiri. Namun, kondisi ini juga tidak bisa dilepaskan dari provokasi negara-negara Barat. Konflik mulai memanas sejak Inggris masuk tahun 1917. Invasi Amerika Serikat di Irak tahun 2003 juga memberikan sumbangan besar membesarnya konflik ini. 

Bukanlah kebetulan kalau strategi untuk  memecah-belah Sunni dan Syiah ini juga merupakan rekomendasi A RAND Corporation pada report yang dipublikasikan tahun 2004 dengan judul, “US Strategy in The Muslim World After 9/11”. Report ini secara eksplisit menganjurkan untuk mengekploitasi perbedaan Sunni dan Syiah demi kepentingan AS di kawasan ini.

Mitos bahwa Sunni dan Syiah tidak bisa berkerjasama adalah salah besar. Ketika melawan penjajahan Inggris terutama antara tahun 1918-1919, ada tiga gerakan perlawanan yang saling berkerjasama. Di Najaf terdapat Jam‘iyah an-Nahdhah al-Islamiyah dan Jam‘iyah al-Wathaniyah al-Islamiyah. Di Baghdad koalisi Sunni-Syiah membentuk Haras al-Istiqlal (Garda Kemerdekaan). Sebagai tambahan, Revolusi Irak yang terjadi pada tahun 1920—yang disebut oleh Inggris sebagai pemberontakan—merupakan perlawanan jihad yang digerakkan oleh Sunni maupun Syiah berdasarkan fatwa Imam Shirazi, ulama besar Karbala. 

Pentingnya Visi Kenegaraan Menyatukan umat Islam memang berat, tapi bukan utopis. Masalahnya terletak pada kesadaran untuk bersatu dalam sebuah visi dan misi kenegaraan yang diyakininya. Negara bangsa terbentuk , meskipun terdiri dari berbagai macam suku bangsa bisa bersatu karena meyakini visi kenegaraan yang sama. Sebaliknya disintegrasi bisa terjadi kalau masyarakat tidak lagi satu visi seperti terjadi saat lepasnya Timor Timur dan runtuhnya Negara komunis. Demikian halnya umat Islam sekarang. Kalau muncul kesadaran untuk menyamakan visi dan misi kenegaraan mereka dibawah naungan Daulah Khilafah, pastilah  akan bersatu. Dan ini bukan utopis karena Rasulullah SAW dan KeKhilafahan berikutnya berhasil menyatukan ini. Apalagi dengan kecanggihan teknologi global saat ini justru menolong persatuan umat Islam sedunia Ditambah lagi dengan kecendrungan globalisasi dunia membuat ide nation-state semakin dipertanyakan. Kasus penyatuan Eropa , menjadi Masyarakat Eropa menjadi contoh menarik. .

Gagasan Uni Eropa ini sebetulnya sudah lama, yakni sejak diluncurkan pada tahun 1950-an. Setelah melalui proses perundingan yang tidak pernah berhenti, ide besar itu baru terwujud pada tahun 1992, yakni ketika perjanjian itu ditandatangani di kota Maastrich, Belanda. hampir 40 tahun kemudian. Pernyatuan ini didorong oleh rasionalitas, bahwa tanpa bersama , Eropa akan mengalami kesulitan bersaing di pasar global , terutama untu berhadapan dengan Amerika Serikat. Pertanyaannya,kalau pemimpin dan masyarakat Eropa secara rasional memilih bersatu, kenapa kita tidak ? Padahal Umat Islam lebih punya dasar syar’i dan historis. Secara syar’i , Kondisi umat Islam yang menyedihkan saat terpecah sejatinya mempercepat keinginan umat untuk bersatu. Terakhir, memang Amerika saat ini kuat.


Namun umat Islam lemah, disebabkan karena umat Islam tidak bersatu. Kalaulah umat Islam seluruh dunia bersatu dan menjadi negara adi daya baru, tentu saja AS akan berpikir panjang untuk menyerang Daulah Khilafah. Apalagi kalau mereka mengerti Khilafah akan dipertahankan oleh seluruh umat Islam yang sadar sampai titik darah penghabisan lewat perang semesta. Sangat jarang , invasi negara asing mendapat kemenangan, kalau muncul perlawanan total dari seluruh rakyat yang ingin dijajah. Pengalaman kekalahan AS di Vietnam menunjukkan bahwa perlawanan rakyat (gerilya) akhirya mampu mengusir AS dari negeri itu. Kemenangan Hizbullah di Lebanon Selatan, sejatinya menjadi pelajaran, meskipun persenjataan Israel sangat canggih, ternyata gagal melumpuhkan Hizbutllah. Kembali kuncinya, adanya dukungan rakyat yang penuh terhadap Hizbullah.. Sulitnya menaklukkan grilyawan di Irak dan Afghanistan menjadi contoh baik, bagaimana AS dengan persenjataannya yang super canggih, kewalahan melawan kelompok mujahidin yang senjatanya pas-pasan dan jumlahnya sedikit. 

Dalam sistem Khilafah, AS akan menghadapi puluhan juta tentara Islam yang siap syahid.

0 komentar:

 

Media Dakwah

© Hidup Mulia Dengan Islam